Saat ini aku seperti terpukul palu besi. Hati dan perasaan ini seperti terkuras merasakan hal yang seharusnya tak terjadi. Tubuh yang dulu kecil kini kulihat besar seperti kesetanan materi. Rindang ceria yang dulu kubasuhkan tak ada bekas sama sekali. Akar-akar yang sudah kuajarkan benar tak nampak dalam matanya. Aku sungguh sudah tak punya kekuatan untuk berteriak saat ia mendorongku hingga terjatuh. Aku memang sudah renta. Istriku hanya bisa menangis tak kuasa melihatku yang tersungkur di atas tanah. Ia seperti masih terlalu sayang dengan anaknya itu, hingga ia tak berkata apapun saat aku didorong hingga seperti ini. Tak bisa kupungkiri, semua berubah begitu cepat. Masih kuingat saat ia kubesarkan dengan rasa sayang yang begitu besar.
Kutimang-timang dengan hujan senyum dan nyanyian. Kuajarkan bagaimana berkata, berbicara dan berjalan. Kucarikan lauk dan nasi yang saat itu sungguh sulit untuk mendapatkannya. Kucari utangan sana sini untuk menyekolahkan. Tapi mungkin ia tak ingat, mungkin lupa atau mungkin tak tahu diri.
Matanya yang tajam masih menatapku dan istriku. Dalam hatiku bertanya apakah ia benar-benar tak mengenalku. Bagaimana mungkin ia berubah seperti ini.
“Sudahlah!!!! mana uangnya...!!! aku pengen beli motor!!, pokoknya aku ingin secepatnya, bapak ga usah bohong, aku yakin bapak punya uang!!! Kemarin sudah jual sapi bukan??, pasti sekarang uang bapak banyak”
“Benar nak bapak sudah bayarkan uang penjualan buat utang kita, kita sudah tidak punya uang yang cukup untuk membeli motor”
“Ahhhh....tahi...mana sini aku ambil”!!!!
Masuklah ia ke kamar bapak dan ibunya. Diacak acaknya seisi kamar dengan wajah yang tak sabar. Ia berlaku seperti perampok yang segera ingin mendapatkan hasil rampokan dan ingin segera mengambil uang untuk bersenang-senang. Ia tak perduli suara isak tangis ibunya yang masih belum berhenti terdengar. Ia seperti tak punya kuping dan tangisan ini seperti tak berarti.
Beberapa waktu mencari ia tak menemukan apa yang dicarinya, karena memang tak mungkin mendapatkan uang yang memang tak ada. Tanpa sengaja ia mendapatkan sebuah gelang yang ada di lemari, tanpa pikir panjang ia masukkan saku dan mencari harta lain yang kiranya berharga.
Setelah dirasa cukup ia keluar kamar lalu pergi entah kemana. Aku dan istriku hanya mencari tempat duduk agar bisa menenangkan diri.
Sore itu seperti malam yang sepi ketika aku dan istriku terdiam. Kami tak berkata apa-apa. Seolah kita begitu kaget dengan kejadian yang baru saja terjadi. Anakku memang sudah tidak pulang seminggu, dia menghilang begtu saja tanpa pamit ketika itu. Aku dan istriku telah berusaha mencarinya kemanapuan tapi tak ketemu. Pada akhirnya seminggu dari kepergiannya dia datang dan membawa petir yang keras di dada kami...di hati kami.
Di atas kursi aku hanya duduk lemas. Aku terpancing mengingat saat ia masih kecil dulu, saat urat nadinya masih terbentuk di perut istriku. Tak pernah aku tak mengingatnya. Aku selalu berdoa saat ia di kandungan dengan doa para orang tua yang wajar. Jadikan dia anakkku yang sholeh dan taat pada orang tua. Hanya itu dan kami mulai membesarkannya dengan segenggam rasa sayang dan cinta.
Kami ajarkan kepadanya sebuah kesederhanaan hidup di Desa. Lampu-lampu kecil dengan minyak tanah. Bernyanyi dibawah bulan yang terang.
“ yo prokonco dolanan neng njobo...., padang Mbulan mbulane koyo rino...., rembulae gede ang ngawe-awe elingake ojo turu sore-sore...”
“ le, nek gede dadio uwong sek becik, sek manut ru wong tuo...
Ah...semua itu seprti tak ada di ingatannya, ia pasti tak ingin dan merasa perlu untuk mengingatnya..batinku.
Aku menghampiri istriku yang sepertinya lelah menangis. Ku dekap dan ku tatap matanya berkaca-kaca. Kerut wajahnya sudah tak bisa disembunyikan, ia memang sudah terlihat tua. Sehari-hari hanya duduk menanti pembeli menbeli gorengannnya. Ku ajak istriku agar ia istirahat dan melupakan semua. Sorot mata tetangga yang mendengar pertengkaran ini tak juga luput memandang langkah istriku yang terlihat sempoyongan. Tampak dari mereka wajah-wajah yang memndam rasa kasihan kepada kami. Mereka juga yang menjadi saksi bagaimana kami menyirami anak tunggal kami benih-benih kebajikan bersama anak mereka. Anak mereka sukses, semua mempunyai cerita yang membanggakan. Mereka selalu bercerita bagaimana anak mereka mulai mandiri hingga mempunyai istri dan anak.
Sedang kami....semua seperti hampa tak berisi. Anak kami seperti orang kerasukan setan.
Semua berlalu ketika senyap mengendap pada gubuk. Istriku seperti ingin membuatku tenang dengan berpura-pura tidur. Padahal matanya masih terbuka karena kejadian hari ini tak mungkin berlalu begitu saja.
“dok dok dok”
Pintuku diketuk sesorang. Semoga anakku pulang dan berubah pikiran tentang uang tadi. Setelah intu aku buka ternayta yang muncul adalah tetangga terdekatku. Sambil terengah-engah dia mencoba menjelaskan apa yang terjadi.
“anakmu..anakmu kang...”
“ada apa ..?? ada apa dengan anakku???”
Diseretnya aku menuju Desa seberang yang terkenal orang-orangnya yang suka pesta-pesta dan hura –hura. Sampailah aku pada sekerumunan orang yang ada di sebuah gang kecil. Terlihat beberapa polisi yang datang dan menyingkirakan orang-orang yang berkerumun. Aku lihat sesosok tubuh yang diangkat kedalam plastik kuning. Terlihat wajah pucat dengan mulut yang mengeluarkan busa putih. Ya, itu anakku. Anakku masuk kedalam kantong mayat.
Tanpa bertanya aku sudah tahu apa yang terjadi. Anakku tewas karena over dosis. Suara-suara dari kerumunan yang menambah jelas penyebab anakku tewas. Selama ini ia meminta uang ternyata hanya untuk beli obat dan ambu. Aku seperti hilang akal, tak kusadari para polisi sudah mendengungkan sirine dan pergi meninggalkan gang itu. Tak sempat aku menjelaskan kalau yang tewas itu adalah anakku. Aku terlalu bingung dengan keajdian ini. aku tak tahu harus berbuat apa. Mobil itu sudah pergi dan warga ysudah berhamburan pulang.
“kang, bagaiaman ini...”
Aku terdiam. Aku berjalan seperti orang mati. Aku berjalan melintasi jalan-jalan menuju rumahku. Tetanggaku tahu apa yang terjadi dan ia membiarkannku sendiri.
Sampai dirumah ternyata istriku sudah benar-benar tidur lelap. Entah apa yang akan aku katakan nanti jika ia terbangun. Bahwa anak tunggal tewas over dosis?. Aku mencoba berlaku seperti biasa. Aku ingin tidur saja.disamping istriku. Aku tertidur dengan air mata yang terus menetes. Aku berharap semua ini hanya mimpi. Aku tak ingin istriku menangis lagi. Dan akupun tertidur atas lelahnya jiwa dan hati. Esok hari biarlah tetap esok hari.semoga aku bisa menyambutnya dengan sekuat hati. Berkata lirih aku dalam hati.
“Semoga kau bahagia disana anakku, kelak nanti aku akan menyusulmu mati“
Sumber : laqmansastra.blogspot.com